Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagai garda pengawal untuk kepentingan publik dan keadilan sosial

Ir. Wisnubroto, CES, M. Dev. Plg, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkapkan bahwa lahan itu tetap, namun jumlah penduduk dan aktivitasnya semakin bertambah. Oleh karena itu, pengendalian pemanfaataan ruang itu diperlukan demi menciptakan harmonisasi pembangunan untuk kepentingan bersama.
“Pengendalian pemanfaatan ruang berfungsi sebagai guardian for public interest and social justice, garda pengawal demi kepentingan publik dan keadilan sosial. Hal ini untuk menghindari terjadinya ketimpangan, yang menguasai lahan itu hanya pemilik modal, misalnya. Selain itu, tugas controlling dalam POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling) adalah meluruskan kembali actuating agar on the track sesuai dengan apa yang direncanakan,” jelas Wisnu.
Ia memaparkan bahwa dalam teori penataan ruang terdapat perencanaan, pemanfaatan ruang, dan ada pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal ini, Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengindentifikai perbedaan antara perencanaan dan pelaksanaan, mana yang salah atau yang tidak.
Wisnu mencontohkan, terdapat perencanaan ruang yang ditetapkan pada tahun 2014 dan direncanakan hingga 20 tahun yang akan datang. Kemudian, pada tahun 2020 dilakukan potret dengan citra satelit dan overlap. Ternyata, ditemukan bahwa terdapat bangunan industri di area sawah. Berarti hal itu mengindikasikan bahwa terjadi pelanggaran.
“Begitu didalami mengapa ada industri, kami telusuri Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2014 dan ternyata, industri itu mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Berarti oknum pemberi izin yang salah. Atau contoh lain, tanpa izin dari pemerintah daerah, ada pihak yang mendirikan villa di kawasan hutan seperti yang terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa barat,” ujarnya.
Menurut Wisnu, rencana tata ruang itu adalah produk hukum. Bila ada yang menyimpang atau melanggar, dikenakan penegakan hukum berupa sanksi administratif atau pidana yang ranahnya ada di Direktorat Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Treatment sanksi terhadap pelanggaran itu berbeda. Bagi mereka yang mengerti hukum, tentu telah diatur sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Namun pada kasus bedeng-bedeng di Puncak, yang merambat ke hutan atau di kawasan atau rumah-rumah ilegal di bantaran sungai akibat pendatang yang tidak memiliki uang dan tidak punya pilihan, maka dilakukan pendekatan sosial dan tidak bisa dilakukan penegakan hukum. Misalnya, diberikan waktu untuk tinggal sementara hingga waktu tertentu dan diminta pindah atau direlokasi atau diberikan bantuan dana mencari tempat tinggal yang tidak menyalahi aturan,” tuturnya.
Wisnu menjelaskan bahwa identifikasi perbedaan antara perencanaan dan pelaksanaan tata ruang disebut tidak menyalahi aturan dapat juga terjadi. Contohnya, saat membuat perencanaan terdapat sekolah dan ada pula lapangannya. Kemudian, di-block menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan telah ditetapkan melalui peraturan daerah tahun 2014. Padahal, bangunan sekolah itu sudah berdiri sejak tahun 2007. Lebih dulu muncul bangunannya dibandingkan perda-nya. Ini artinya, perda-nya yang salah.
“Bila terjadi ketidaksesuaian tersebut, maka dilakukan peninjauan kembali untuk merevisi tata ruang. Perbedaan antara rencana dengan apa yang ada itu belum tentu sebuah pelanggaran. Bisa jadi, memang itu rencanannya yang salah. Pekerjaan utama Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah melihat mana yang salah dan mana yang tidak. Jika melihat perbedaan tersebut akan dilanjutkan ke Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang untuk mendapatkan penindakan hukum,” ungkapnya.
Wisnu memaparkan bahwa Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memiliki 6 kelompok kerja yang menjadi target tahun 2020, di antaranya kelompok 1, pengaturan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang berkaitan dengan pedoman, perundang-undangan, peraturan presiden; kelompok 2, pembinaan teknis pengendalian untuk kota kabupaten/provinsi; kelompok 3, melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan-kegiatan di daerah. Dalam hal ini yang diprioritaskan pada daerah yang cepat berkembang seperti Jawa dan daerah Pantai Utara Jawa; Kelompok 4, membuat Instrumen Pengendalian (Isdal) pemanfaatan ruang pada tahun ini. Difokuskan pada daerah-daerah yang dikendalikan, seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) contohnya Pelabuhan Baru di Pantimbang, Bandara Baru di Kulon Progo, Yogyakarta, Jalan Tol, Jalur Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri, dan SDEW (Situ, Danau, Embung, Waduk); Kelompok 5, penyadaran masyarakat melalui kelompok masyarakat; dan Kelompok 6, pembuatan sistem informasi melalui Patrol Taru (Pantau dan Kontrol Penataan Ruang).
“Patrol Taru merupakan aplikasi yang ditempelkan dan dapat di-download di smartphone yang memuat dua substansi sekaligus, yakni rencana detil tata ruang dan pengaduan. Adanya Patrol Taru ini diharapkan banyak orang memahami bila merencanakan membangun sesuatu di suatu kawasan, apakah bisa atau tidak sesuai peruntukannya. Demikian pula, tata ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya dengan mengirimkan foto pada kanal pengaduan agar segera ditindaklanjuti. Patrol Taru ini telah berjalan dua tahun ini dan telah diterapkan di Kota Medan, Kabupaten Badung, Bali dan Kota Malang, serta menjadi pilot project yang nantinya akan disebarkan di kota lainnya,” jelasnya.
Tantangan baru yang akan dihadapi oleh Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sambung Wisnu, mengenai penerapan UU Cipta Kerja (UUCK) 2020 yang bertujuan untuk memudahkan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Namun, di sisi pengendalian menjadi tantangan tersendiri. Sebab, Semua investasi dapat dilakukan melalui digital, sehingga investor tidak harus pergi ke kota yang dituju dan bertanya ke bagian Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Cukup melihat di Online Single Submission (OSS) yang sudah terhubung dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).
“Sistem tersebut dapat dilihat dua sisi, bisa bagus karena lebih cepat prosesnya. Namun di sisi lain, juga kurang bagus. Misalnya saja, memang betul kawasan itu adalah daerah perdagangan, ada toko-toko kelontong yang sudah berdiri, bila ada jaringan ritel di situ juga, tentu ada implikasinya. Sehingga, kami mendorong agar peran pemerintah daerah untuk menyeleksi agar tidak merugikan masyarakat. Selain itu, kami tengah memikirkan bagaimana membentuk forum Tata Ruang yang berisikan tidak hanya orang pemerintah saja, namun juga tokoh-tokoh masyarakat, perguruan tinggi agar investasi tidak berdampak buruk bagi masyarakat,” tutupnya sembari menandaskan bahwa fungsi pengendalian tata ruang untuk mengharmonisasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.