
Cisarua, Bogor, 11 November 2024 – Hamparan hijau nan cantik di kawasan Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Jawa Barat membawa siapa pun merasakan alam ciptaanNya dari dekat. Tampak pula, para petani tersenyum sumringah tengah memetik hasil panen. Menikmati hasil panen Agatho Organic Farm terasa sempurna sebab proses bertani yang sungguh-sungguh selaras alam semesta.
Pertanian organis pertama di Indonesia, pertama kali diperkenalkan oleh alm. Pastor Agatho Elsener OFMCap yang menjadi imam misionaris di Indonesia sejak tahun 1960. Pria berkebangsaan Swiss ini kemudian memilih menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1983.
Konsisten Terapkan Pertanian Organis
Pastor Agatho mulai mengembangkan pertanian organis ketika bertugas di Sanggau, Kalimantan Barat pada tahun 1960. Kala itu, keluhan petani adalah sulit menghalau serangan hama sehingga menyebabkan gagal panen dan juga penggunaan pengendali nabati atau disebut pestisida yang berdampak terhadap kesehatan petani. Ternyata, dampak pengendali nabati juga berdampak buruk bagi lingkungan sekitar, alhasil ketika mendirikan Agatho Organic Farm, Pastor Agatho juga konsisten menerapkan pertanian organis di Cisarua, Bogor pada tahun 1984.
Selanjutnya, Ketua Yayasan Bina Sarana Bakti, Wahyudi Susanto menjelaskan bahwa Pastor Agatho mendirikan Pusat Pengembangan Organis dengan nama Yayasan Bina Sarana Bakti untuk memperkenalkan pertanian organis. “Organis yang dimaksud adalah alat kerja, yang berasal dari bahasa Yunani, yakni organon. Kata dasarnya, Ergon, artinya pekerjaan. Sehingga, dapat diartikan organis adalah alat kerja yang bekerja untuk organisme agar tercapai harmonisasi antara alam dan manusia,” urai Wahyudi.
Pastor Agatho, sambung Kepala Produksi Agatho Organic Farm Eji Sudarji, mempelajari pertanian organis secara khusus di Swiss. “Pastor Agatho juga terinspirasi tulisan buku The One-Straw Revolution atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesianya adalah Revolusi Sebatang Jerami karya Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian organis di Jepang. Disebutkan bahwa pertanian itu bukan teknik bertani saja, namun sikap yang menghargai alam dan seisinya. Misalnya saja, tidak menggunakan pengendali nabati, namun menggunakan pupuk dari sumber alam, seperti pupuk kandang dari kotoran ayam, misalnya,” ujar Eji.
Bendahara Yayasan Bina Sarana Bakti Christiana Citra Nariswari menyebutkan bahwa luas lahan Agatho Organic Farm ini mencapai 13,8 hektar yang meliputi tanah dan bangunan. “Para petani mengelola Agatho Organic Farm ini berjumlah 68 orang, yang terdiri dari 38 orang karyawan plus 30 petani plasma. Istilah petani plasma ini para petani yang khusus direkrut di luar karyawan, biasanya mereka pernah bekerja di Agatho Organic Farm. Para petani ini bertugas mengelola plasma, menanam, merawat dan panen setiap Senin dan Kamis,” imbuh Citra.
Pusat Pembelajaran Pertanian Organis
Sekretaris Yayasan Bina Sarana Bakti Apri Larastio mengatakan, “Agatho Organic Farm adalah pionir pertanian organis di Indonesia dan hingga kini konsisten menerapkan pertanian organis. Kata organis ini merujuk pada pertanian yang mempedulikan makhluk hidup lainnya.”
Sebagai contoh, lanjut Apri, Jika pada pertanian konvensional menggunakan pengendali nabati untuk membasmi semua hama, sedangkan pada pertanian organis itu tidak ‘membunuh’ makhluk lain, tetapi membiarkan hama untuk ‘kenyang’ dengan sendirinya. Ada cara lain lagi menggunakan pengendali alami seperti menggunakan urine kelinci atau sapi yang disiram ke tanah juga ampuh menghalau hama.
“Selain tanaman, ada pula hewan-hewan yang terintegrasi dengan organis karena kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk alami, seperti ayam, angsa, kambing, kelinci, dan sapi,” imbuh Wahyudi.
Apri mengatakan bahwa Agatho Organic Farm membuka kunjungan sekolah, workshop, hingga training seputar pertanian organis. “Kami menerima kunjungan sekolah. Paketnya adalah berkeliling Agatho Organic Farm, melihat hasil panen dan berbelanja. Adapula workshop, biasanya berlangsung selama 5 jam dan mendapatkan konsumsi. Sementara itu, untuk training, peserta menginap karena berlangsung selama tiga hari dengan materi yang padat dan mereka akan mendapatkan sertifikat,” ujarnya.
Dapat Menikmati Hasil Panen Organis
Eji memaparkan bahwa pengelolaan Agatho Organic Farm ini secara holistik, yaitu merancang dan menata dari hulu ke hilir semua penataan sayuran. Misalnya, ukuran yang seragam (1x10 meter) yang dirancang untuk mempermudah estándar administrasi. Dari lahan tersebut dapat menghasilkan minimal 15-25 kg sayuran.
“Setiap panen dalam dua kali seminggu (tiap Senin dan Kamis) dapat menghasilkan 600 kg sayuran. Sekitar 150 hingga 300 kg dijual bebas. Sedangkan, sisa panen dijual ke agen-agen Agatho Organic Farm,” ujar Eji sembari mengenang Agatho pernah mengekspor sayuran seperti wortel, lobak, selada ke Singapura pada tahun 2001-2003.
Diakui Eji, permintaan terbanyak sayuran Agatho ini berasal dari Jakarta karena kualitas sayuran Agatho Organic Farm ini terjaga kesegarannya. Apalagi, sayuran organis ini baik untuk proses recovery dari sakit. “Saat ini terdapat tiga kategorisasi produk yang dijual, yakni kategori produk segar; produk olahan seperti tape, kerupuk singkong, dan selai wortel; dan livestock, yaitu hasil peternakan telur ayam dan angsa,” sambung Eji.
Wahyudi menambahkan, “Ke depannya, Agatho Organic Farm akan mendirikan kafe organis di kawasan tersebut agar masyarakat dapat menikmati hasil panen Agatho secara langsung.”